Rabu, 26 April 2017

Nugas dan Nyetatus “KemINGGRIS”, masih cinta Indonesia?


Bagi follower saya di instagram maupun twitter tentu sudah sangat familiar tentang hal ini. Ya, saya hampir selalu membuat status dalam bahasa Inggris alias “KemINGGRIS”. Bagi yang belum follow, jangan lupa follow ya?!
:p  Begitu pula dalam menyelesaikan tugas-tugas selama kuliah S2 ini. Jika tugas yang diberikan bukan bersifat laporan atau makalah yang jumlah kalimatnya banyak dan harus berbahasa Indonesia sesuai EYD, maka saya selalu berusaha membuatnya dalam bahasa Inggris. Beberapa contohnya ialah tugas resume atau review jurnal, mini paper, power point presentation, dan sebagainya. Catatan-catatan kuliah umum dari pemateri luar negeri juga selalu saya usahan ditulis dalam bahasa Inggris. Beberapa catatan kuliah umum atau tugas-tugas kuliah saya juga saya upload ke blog ini. Bagi  teman-teman yang follow atau rajin kepo blog saya ( :p ) tentunya mengetahui hal tersebut.

Saya yakin bahwa teman-teman juga mengetahui bahwa bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa yang mendunia, sehingga kemampuan berbahasa Inggris sangat dibutuhkan dalam berbagai hal. Bahasa Inggris selalu menjadi syarat masuk PTN, syarat beasiswa di dalam ataupun luar negeri, syarat pertukaran pelajar/magang di luar negeri, tak terkecuali jika ingin sekedar berlibur ke luar negeri, minimal harus bisa berbahasa Inggris selain bahasa resmi dari negara yang dituju. Oleh karena itu, belajar bahasa Inggris kini bukan hanya menjadi kewajiban tetapi kebutuhan untuk dipelajari, sehingga tidak heran jikalau bahasa Inggris menjadi salah satu mata pelajaran utama sejak SD, bahkan TK. Namun, penggunaan bahasa Inggris juga seringkali menimbulkan problematika dalam masyarakat. Salah satunya ialah memudarnya kecintaan dan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, padahal kosa kata bahasa Indonesia juga sangat beragam. Hal ini membuat orang-orang yang sering berbicara atau menulis dalam bahasa Inggris (seperti saya ini) terkadang dianggap sok kebarat-baratan atau sok pintar dan sok-sok lainnya L L L Padahal tidak semua penilaian tersebut benar untuk setiap orang. Setiap orang tentu memiliki alasan dan pertimbangan masing-masing, termasuk saya.

Hal ini tentunya saya lakukan karna berbagai pertimbangan, bukan karena sekedar GAYA, atau biar orang mengetahui bahwa kemampuan bahasa Inggris saya mumpuni. Saya menyadari bahwa kemampuan bahasa Inggris saya juga sebenarnya masih rendah, nilai TOEFL saya saja hanya melebihi beberapa poin dari batas minimum untuk bisa lolos seleksi administratif beasiswa LPDP alias pas-pasan. Namun, saya tidak ingin hal ini menjadi penghalang saya untuk belajar melatih dan meningkatkan kemampuan saya dalam berbahasa Inggris. Biarlah orang berkata apa, kebermanfaatan akan menjadi milik saya, dan lelah berkomentar akan menjadi milik mereka. Kyaaaa….. :D :D :D
Itulah alasan pertama saya, yakni terus belajar dengan berlatih.

Kedua, sebenarnya sejak dulu saya memang memiliki passion yang tinggi dalam bidang bahasa. Sewaktu memilih jurusan peminatan di SMA, saya ingin sekali memilih bahasa. Sayangnya saya berada di sekolah rada pelosok yang hanya punya dua pilihan jurusan yaitu IPA dan IPS, titik!. L Akhirnya masuklah saya ke jurusan IPA berdasarkan saran dari Ibu guru BK :D. Begitupula waktu memilih jurusan kuliah S1. Awalnya, saya memilih untuk mendaftar di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Namun, karena bimbang, ada saran, dan pertimbangan dari berbagai pihak, akhirnya saya merubah keputusan saya untuk beralih ke Prodi Pendidikan Biologi tepat H-1 pendaftaran ditutup. :D :D :D Saat itu, pertimbangan terbesar saya adalah ketika saya belajar Biologi, tentu saja masih harus belajar Bahasa Inggris, sehingga ilmu saya lebih banyak. Selain itu, prestasi dan pengalaman saya dibidang Biologi yang sudah saya peroleh selama SMA tidak akan terbuang dengan sia-sia, sehingga kebermanfaatannya akan lebih besar pada masa depan J.

Ketiga, Saya banyak bertemu dan mengenal teman-teman dengan berbagai cerita, khususnya teman seperjuangan awardee LPDP LN yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan awardee LPDP DN. Mereka tentunya teman-teman yang bahasa Inggrisnya sudah sangat mumpuni. Hal itu tentu membuat saya iri sekaligus minder karena melihat mereka bisa kuliah dengan beasiswa di luar negeri, bisa belajar lebih banyak, dan bisa berlatih bahasa asing setiap waktu dengan pemilik bahasanya langsung. Namun, saya tidak ingin hal ini membatasi diri saya untuk berfikir sama seperti mereka. Saya juga meyakini bahwa hal itu tidak mereka peroleh dengan instan, tetapi melalui proses belajar. Saya memutuskan kuliah di dalam negeri bukan berarti bahwa kemampuan saya hanya sebatas standar nasional, tetapi haruslah berkomepetensi internasional. Salah satunya dengan kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik dengan bekal pengalaman studi yang lebih diperdalam pula. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi saya untuk minder, tidak ada alasan untuk merasa berkecil hati karena pengalaman dan kemampuan saya sedikit, dan tidak ada alasan bagi saya untuk belajar hanya terbatas dari sumber dan keahlian berbahasa Indonesia.

Keempat, Saya ini mahasiswa program Master of Science (M.Sc) alias “Mesakke” (Begitulah kata pak dekan Fak. Biologi UGM, Pak Budi), bukan bergelar M.Si layaknya program magister sains di Indonesia pada umumya. Gelar M.Sc seharusnya memiliki standart internasional, meskipun dalam pelaksanannya sebenarnya masih kurang menginternasional L. Oleh karena itu, sebagai wujud upaya saya untuk memantaskan diri saya sebagai kandidat M. Sc, saya harus terus belajar dan menyelesaikan tugas-tugas dengan standar kualitas internasional. Hal ini mungkin terkesan teoritis idealis atau apalah namanya, tetapi ya memang beginilah adanya.

Kelima, Saya ingin menebar inspirasi bagi lingkungan saya untuk terus belajar. Ketika saya menulis segala sesuatu seperti status dalam bahasa Inggris, pasti akan ada pembaca yang mencoba mencari arti setiap kata jika Ia tidak mengetahuinya. Dengan demikian, saya telah membantu memaksanya belajar kosa kata bahasa Inggris baru baginya secara tidak langsung. Menarik bukan?!. Apalagi jika kalimat yang saya tulis adalah kalimat yang mampu menginspirasi atau bersifat informatif. Bukankah hal ini akan menambah kebermanfaatan saya bagi sesama?. Menurut saya begitu.

Disisi lain, hal ini tentu tidak mengurangi kecintaan saya untuk mempelajari bahasa Indonesia. Hal ini tidak berarti pula bahwa kemampuan bahasa Indonesia tidak bagus. Buktinya, saya juga bisa memenangkan lomba kategori tulisan ilmiah, bisa menulis di Koran (eaaa sombong!!! *kibas jilbab), bisa buat puisi meskipun kadang sedikit aneh :D :D :D, bisa menulis cerpen meskipun belum pernah selesai L. Saya juga terus belajar menulis dengan bahasa Indonesia sesuai EYD dengan baik dan benar dalam setiap tugas yang memang harus diselesaikan dalam bahasa Indonesia. Bagaimanapun juga, saya pemuda Indonesia, jadi saya masih mampu mengilhami isi sumpah pemuda bahwa kita berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Begitupula dengan bahasa Jawa. Saya asli Jawa, keturunan Jawa, lahir dan besar di Jawa, sehingga saya juga bisa bahasa Jawa yang sopan sesua aturan tingkatan kesopanan dalam bahasa Jawa seperti boso ngoko, boso kromo alus, dan kromo inggil meskipun memang tidak ahli.
Intinya adalah, Jangan mudah mengambil kesimpulan terhadap orang lain hanya dari sedikit sisi. Jangan pernah menilai nasionalisme dan patriotisme seorang warga negara hanya sekedar dari caranya berbahasa. Lihatlah secara keseluruhan caranya berfikir dan bekerja. Jangan pula membatasi diri kita untuk belajar hanya karena rasa malu, rasa takut, dan sebagainya. Saya bisa menulis seperti bukan karena saya merasa sudah istimewa, tetapi karena saya pun masih belajar menjadi lebih baik dalam segala hal. Biarlah tulisan ini menjadi pengingat untuk saya saat saya sedang merasa lelah dan takut, semoga bisa pula menjadi penggugah untuk teman-teman yang membaca. J J J


Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar