Hari ini, Minggu 26 Februari 2016 saya berkesempatan untuk melarikan diri
sejenak dari aktivitas rutin kuliah. Saya memilih untuk mengunjungi Taman Sari
Keraton Yogyakarta. Pemilihan tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Saya terlebih dahulu mencari referensi
melalui media online mengenai tempat-tempat wisata budaya/wisata alam yang
tidak jauh dari lokasi kampus UGM. Selain itu, saya juga tidak sendiri. Saya
bersama dengan teman seperjuangan saya yang kebetulan sedang memiliki agenda di
Yogyakarta hari sebelumnya, sehingga kami memutuskan untuk berlibur bersama,
meskipun dalam waktu yang cukup singkat.

Taman sari keraton Yogyakarta
terletak di Jl. Taman, Kraton, Yogyakarta 55133, Indonesia. Jam buka Taman
sari dimulai sekitar pukul 09.00 WIB hingga 14.00 WIB. Harga tiket masuknya pun
cukup terjangkau yakni Rp. 5000 untuk pengunjung lokal dan Rp. 8000 untuk
pengunjung asing. Harga tiket tersebut sudah termasuk beberapa titik lokasi
yang termasuk dalam area taman sari.
Area taman sari ini terletak di area
perkampungan warga, sehingga beberapa titik wisata yang menjadi bagian dari
taman sari baru dapat dinikmati setelah menelusuri area perumahan warga
sekitar. Saat itu, saya memilih mengunjungi area utama yaitu area pemandian
terlebih dahulu. Area pemandian ini nampak seperti kolam air yang begitu bersih
dan penuh dengan kesan tradisional, tetapi penuh dengan seni. Konon katanya,
kolam ini dulunya merupakan danau buatan yang dikenal dalam istilah Jawa
sebagai “segaran”. Meskipun kolam ini dikenal dengan istilah pemandian, tetapi
saya tidak melihat adanya aktivitas pemandian di kolam tersebut J
Pengunjung di taman sari cukup padat,
apalagi karena saya datang di saat hari libur. Akibatnya, momen untuk berfoto yang
bagus menjadi sedikit sulit diperoleh. Setelah dari titik kolam taman sari,
saya menyusuri lorong-lorong yang mengelilingi are kolam tersebut. Ada gedung
utama dibagian depan pintu masuk masuk yang terdiri dari 2 lantai disertai
dengan menara. Namun, karena sudah lelah saya memilih untuk tidak melihat ke
bagian atas. Menurut informasi berdasarkan teman yang menemani saya hari itu,
bagian atas juga biasanya penuh dengan pengunjung, sehingga akan sedikit sulit
untuk dinikmati. Selanjutnya saya memilih untuk menyusuri perkampungan mencari
titik area masjid yang cukup hits di media sosial. Bagaimana tidak, area tersebut
memiliki spot foto yang cukup menarik bila dilakukan pada suasana yang
mendukung. Saya harus menempuh area masjid bawah tanah yang dimaksud sejauh
kurang lebih 250 meter. Saya beruntung karena bertemu dengan seorang Ibu, warga
yang kebetulan hendak menuju ke pasar melalui area masjid, sehingga saya tidak
perlu repot untuk mencari area masjid tersebut.

Bangunan di seluruh area taman sari ini
memiliki ciri khas yang berbeda dengan bangunan budaya lainnya yang umum di
Jogja. Bangunannya sederhana tanpa terlalu banyak ukiran, tetapi tetap memiliki
nilai seni khusus yang menarik. Susunan bangunannya sebagian besar berupa lorong
gelap dengan banyak tangga dan seperti disekelilingi oleh mata air
disekitarnya, sehingga terasa sejuk dan basah.

Ada kejadian menarik ketika saya sampai di
Taman sari ini. Saya tidak tahu jalan dan sempat bingung karena G-map
menunjukkan bahwa saya telah sampai, tetapi tidak ada penunjuk jalan yang
menandai tempat parkir atau pintu masuk. Saya memutuskan untuk segera menepi
dan bertanya pada beberapa Bapak tukang becak. Namun, karena saya sedang dalam
kondisi sedikit bingung dan panik karena jalanan ramai, saya lupa mematikan
mesin motor. Salah satu tukang becak yang merupakan warga asli Jogja tentu
tidak nyaman dengan kondisi tersebut, sehingga sempat sedikit “menceramahi”
saya perihal tersebut. Saya yang juga orang asli Jawa (hanya saja saya Jawa
Timur suroboyoan J ) tentu saja mengerti maksud dan adat
tersebut. Oleh karena itu, segera saja saya reflek mematikan mesin motor dan
melepaskan helm dengan penuh senyum dan sekaligus memohon maaf pada Bapak
tukang becak tersebut. Sebenarnya memang yang bermasalah dengan kondisi
tersebut hanya satu Bapak tukang becak, yang lainnya tidak terlalu
mempedulikan. Namun, saya pun menyadari bahwa memang begitulah adat Jawa, penuh
dengan sopan santun dalam tindakan sekecil apapun seperti apa yang telah
keluarga saya ajarkan. Disitu saya merasa sedikit gagal menerapkan ajaran orang
tua saya, meskipun sebenarnya saya juga tidak melakukannya dengan sengaja.
Itulah kisah perjalanan saya di Taman sari keratin
Yogyakarta. Apabila anda berkunjung ke Yogyakarta terutama di daerah Kota,
tempat wisata ini cukup saya rekomendasikan untuk anda. Semoga perjalanan anda
menyenangkan J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar