1.
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai salah satu
Negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk tingkat
endemismenya (WWF, 2005) .
Salah satu spesies endemik Indonesia ialah Rusa Bawean (Axis kuhlii). Menurut IUCN (1977)
spesies rusa Bawean hanya di temukan di Pulau Bawean, Indonesia.
Rusa tersebut merupakan salah satu hewan endemik Indonesia yang dilindungi baik pada tingkat nasional maupun internasional(Mansur, 2004) . Hal ini membuat rusa Bawean menjadi hewan
yang cukup menarik perhatian warga dunia, baik untuk keperluan penelitian
maupun hiburan. Rusa Bawean bahkan direncanakan akan menjadi ikon yang
melambangkan kecepatan dalam penyelenggaraan Asian Games 2018 mendatang (kabargresik.com, 2016) .
Rusa tersebut merupakan salah satu hewan endemik Indonesia yang dilindungi baik pada tingkat nasional maupun internasional
Pulau Bawean merupakan pulau yang kecil
dan terpencil, terletak di kawasan Laut Jawa sekitar 150 km di sebelah utara
Surabaya dengan tipe hutan berupa hutan hujan tropik dataran rendah (Mansur, 2004) . Pulau Bawean
merupakan daerah yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Gresik.
Luas total Pulau Bawean ialah sekitar 190 km2 dengan daerah yang
bergunung (400-646 m dpl) berada di sekitar barat dan tengah pulau (Jayanti, 2009) . Terisolirnya rusa
Bawean di Pulau Bawean ini seharusnya dapat meminimalisir ancaman luar yang
menganggu stabilitas populasi rusa Bawean. Namun, fakta menunjukkan bahwa
populasi rusa Bawean terus mengalami penurunan terutama sejak pesatnya
peningkatan populasi manusia di Pulau Bawean. Akibatnya, IUCN memasukkan rusa
Bawean yang mulanya termasuk kategori terancam (Semiadi.,
et al, 2003) menjadi kritis (CR: Critically Endangered) (IUCN, 2015) karena jumlah populasinya yang
semakin menurun hingga 250-300 individu pada tahun 2004 hingga 2006. Rusa
Bawean juga termasuk dalam Appendix I berdasarkan daftar CITES tahun 2000. Penurunan
jumlah populasi rusa Bawean ini terjadi karena beberapa faktor terutama karena
adanya perubahan habitat. Disisi lain, informasi mengenai cara hidup,
fisiologi, dan persebaran rusa Bawean masih terbatas, sehingga upaya
konservasinya masih belum dapat dilakukan dengan maksimal. Oleh karena itu,
diperlukan analisis permasalahan yang mengakibatkan adanya keterancaman
populasi rusa Bawean di Pulau Bawean untuk dapat merumuskan upaya konservasi
yang efektif dan efisien.
2.
Deskripsi Kasus
Rusa Bawean merupakan satu-satunya rusa
yang terisolir diantara seluruh spesies rusa di dunia (Blouch & Atmosoedirdjo, 1987) . Hal ini
memungkinkan upaya pelestarian rusa Bawean dapat dilakukan dengan lebih mudah
karena minimnya ancaman dari luar. Namun, fakta menunjukkan bahwa jumlah
populasi rusa Bawean mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Hoogerwerf
(1966) melaporkan bahwa populasi rusa Bawean pada tahun 1954 masih ditemukan
dalam jumlah cukup banyak. Hal tersebut didukung dengan banyaknya tumbuhan
semak dan herba yang diduga menjadi habitat dan sumber makanan bagi rusa.
Sitwell (1970) memperkirakan jumlah populasi rusa Bawean hanya sekitar 500
individu pada tahun 1969. Namun pada tahun 1975, Blower melaporkan estimasi
berdasarkan hasil observasinya bahwa jumlah rusa yang masih hidup kurang dari
500 individu karena adanya perburuan besar-besaran. Hasil sensus populasi rusa
Bawean pada tahun 1996/1997 mengindikasikan bahwa populasi yang tersisa di
habitat liar hanya sekitar 400 individu, sedangkan populasi yang terdapat di
penangkaran berjumlah mencapai 200-250 individu yang tersebar di berbagai kebun
binatang, taman safari, maupun penangkar pribadi (Semiadi., et al, 2003). Laporan dari tim IUCN pada tahun 2008 juga
menunjukkan adanya penurunan populasi pada tahun 2004-2006 yang mencapai
250-300 individu di Pulau Bawean.
Penurunan jumlah populasi rusa Bawean terutama
disebabkan terutama karena adanya perubahan habitat rusa
di Pulau Bawean yang berupa berkurangnya
habitat yang mendukung kehidupan rusa Bawean karena beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah adanya perubahan aktivitas warga dari melaut
menjadi berburu dan berladang (Jayanti, 2009) , pembakaran semak untuk kepentingan
budidaya pohon jati (IUCN, 1977), dan
rencana pembangunan Pulau Bawean sebagai salah satu destinasi wisata yang
menarik. Ancaman-ancaman tersebut didukung dengan minimnya upaya pelestarian
yang strategis dari pemerintah dan masyarakat di sekitar Pulau Bawean.
3.
Analisis Permasalahan
Penelitian yang dilakukan oleh Semiadi
(2003) menghasilkan kesimpulan bahwa pertumbuhan dan aktivitas reproduksi rusa
Bawean dimulai dari usia 6 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas fisiologi
rusa Bawean tidak berbeda dengan rusa tropis dan temperate lainnya. Rusa Bawean
yang berukuran lebih pendek dibandingkan dengan jenis rusa lainnya memiliki
habitat berupa hutan dengan tanaman rendah seperti semak dan herba.
Perubahan habitat rusa Bawean di Pulau
Bawean menjadi penyebab utama berkurangnya populasi rusa Bawean. Menurut Jayanti (2009), adanya pergeseran aktivitas penduduk
lokal Pulau Bawean dari pekerja ladang dan pemburu sambilan menjadi pemburu dan
pekerja ladang penuh mengakibatkan penurunan populasi rusa Bawean. Masyarakat
Pulau Bawean yang awalnya mencari makanan dengan berlayar dan memancing di laut
beralih aktivitas dengan cara menjadi pemburu hewan untuk memenuhi kebutuhan
pangan sehari-hari. Rusa Bawean dan babi merupakan dua hewan mamalia liar yang
banyak terdapat di Pulau Bawean. Namun, rusa Bawean merupakan hewan yang paling
banyak diburu karena masyarakat Pulau Bawean yang sebagian besar ialah penduduk
muslim. Perburuan terhadap babi hanya dilakukan apabila ada gangguan dari
populasi babi terhadap lahan pertanian warga. Selain itu, masyarakt juga
menjadi pekerja ladang yang secara tidak langsung menganggu kenyamanan hidup
rusa Bawean di habitatnya. Adanya
deforestasi di habitat rusa Bawean dan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan
budidaya pohon jati yang mulai terjadi pada tahun 1934 juga mengakibatkan
berkurangnya luas area habitat rusa Bawean (Jayanti, 2009) .
Selain berkurangnya
luas area yang menjadi habitat rusa Bawean, adanya peralihan aktivitas
masyarakat juga mengakibatkan berkurangnya sumber makanan di habitat rusa
Bawean. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Mansur (2004), dapat diketahui bahwa jenis
tumbuhan yang termasuk pakan rusa Bawean sangat rendah yaitu sebesar < 5%
dari seluruh populasi tumbuhan yang ditemukan di tiga lokasi hutan yang menjadi
habitat rusa Bawean. Disisi lain, salah satu mekanisme perawatan hutan jati
yang dilakukan oleh warga di Pulau Bawean ialah pembakaran bagian bawah hutan
jati (IUCN, 1977) .
Hal ini mengakibatkan hilangnya tanaman semak dan herba yang dapat tumbuh di
bagian bawah hutan jati.
Ancaman-ancaman tersebut terjadi
sebagai akibat dari adanya peningkatan populasi manusia di Pulau Bawean yang cukup
padat dan terjadi dengan pesat. Populasi manusia di Pulau Bawean pada tahun
1954 yang berjumlah sekitar 45.000 individu meningkat menjadi 62.000 pada tahun
1975 (IUCN, 1977). Saat ini, populasi manusia di Pulau
Bawean telah meningkat menjadi 70.000 (Leake,
2009). Peningkatan populasi manusia ini secara
tidak langsung mengakibatkan aktivitas perburuan satwa liar, pertanian,
pembudidayaan pohon jati, dan alih fungsi lahan hutan lainnya menjadi lebih
meningkat.
Perencanaan pengembangan ekowisata di
Pulau Bawean yang masuk dalam jalur wisata 3B yaitu Batam-Bali-Bawean (Jamaluddin, 2013) juga dapat
menimbulkan ancaman tersendiri bagi rusa Bawean. Adanya program ekowisata dapat
mengakibatkan adanya alih fungsi lahan hutan menjadi tempat-tempat yang
mendukung pariwisata seperti perhotelan, pertokoan kecil hingga besar, dan
landasan udara. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan ekowisata di Pulau
Bawean harus dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan habitat bagi rusa
Bawean dan meminimalisir ancaman-ancaman bagi rusa Bawean.
Saat ini, satu-satunya tempat
penangkaran rusa Bawean yang menjadi upaya pelestarian rusa Bawean hanya berada
di Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean (Media Bawean, 2010). Upaya penangkaran memang sudah dilakukan,
tetapi lahan penangkaran yang mencapai 4 ha tersebut juga merupakan area
ekowisata dan lahan budidaya salak, sehingga upaya penangkaran rusa Bawean
tersebut dapat dikatakan masih belum efektif untuk mengurangi keterancaman rusa
Bawean dalam menuju kepunahan. Selain itu, rusa Bawean memang dapat
bereproduksi dalam kondisi penangkaran, sehingga memudahkan upaya peningkatan
populasinya. Namun, penelitian terkait mekanisme fisiologis terutama reproduksi
yang lebih rinci masih diperlukan dalam upaya konservasi rusa Bawean.
4.
Saran untuk Pemecahan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan diatas,
dapat diajukan beberapa saran berikut ini:
a.
Diperlukan adanya pembatasan hingga larangan perburuan
rusa Bawean di Pulau Bawean dengan peraturan yang tegas untuk megurangi adanya
aktivitas perburuan rusa Bawean. Dalam hal ini peran aktif dari masyarakat
sebagai pelaku adat juga sangat diperlukan.
b. Aktivitas pertanian dan perkebunan jati
hendaknya lebih dimaksimalkan pada area yang sudah ada, sehingga tidak perlu
membuka lahan baru. Optimalisasi perkebunan jati juga disertai dengan larangan
pembakaran semak dan herba yang menjadi habitat rusa Bawean. Oleh karena itu,
diperlukan adanya penyuluhan kepada masyarakat di Pulau Bawean mengenai
mekanisme bercocok tanam yang efektif dan efisien, serta penyuluhan mengenai
dampak pembakaran semak bagi ekosistem hutan secara umum, bagi spesies, dan
bagi lingkungan. Optimalisasi aktivitas pertanian dan perkebunan jati ini dapat
meminimalisir alih fungsi lahan habitat dan hilangnya makanan rusa Bawean.
c.
Perencanaan pengembangan ekowisata di Pulau Bawean harus
dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin dapat
mengakibatkan kerusakan habitat di Pulau Bawean, bukan hanya habitat rusa
Bawean. Oleh karena itu, perencanaan harus dilakukan dengan melibatkan berbagai
ahli, sehingga dapat diajukan gagasan dari berbagai sisi kehidupan.
d. Upaya konservasi rusa Bawean dapat
dilakukan dengan melakukan konservasi yang mengintegrasikan pendekatan
ekosistem dan pendektan spesies. Pemulihan ekosistem hutan di Pulau Bawean
harus dilakukan secara utuh, sehingga ekosistem di Pulau Bawean juga terhindar
dari berbagai ancaman. Namun, komponen-komponen ekosistem yang mendukung
kehidupan rusa Bawean juga harus menjadi salah satu fokus utama, misalnya
perawatan tanaman herba dan semak. Integrasi pendekatan ini akan memberikan
hasil yang lebih efektif bagi biodiversitas (Likens, 2012) di Pulau Bawean.
5.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis permasalahan
yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa saat ini populasi rusa Bawean
yang merupakan hewan endemik di Pulau Bawean berada dalam kondisi sangat
terancam punah. Hal tersebut terjadi terutama karena perubahan habitat,
perburuan liar, rencana pembangunan wisata di Pulau Bawean, serta minimnya
informasi yang mendukung efektifitas konservasi rusa Bawean. Ancaman-ancaman
tersebut secara tidak langsung disebabkan adanya peningkatan populasi manusia
di Pulau Bawean yang terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Oleh
karena itu, diperlukan upaya konservasi rusa Bawean yang efektif dengan
melibatkan berbagai pihak.
Daftar Pustaka
Media
Bawean. (2010, Mei 14). Portal Berita Antara JATIM. Retrieved December
30, 2016, from Media Bawean: www.bawean.net
Blouch, R., & Atmosoedirdjo, S.
(1987). Biology of the Bawean Deer and Prospects for its Management. Biology
and Management of the Cervidae , 320-327.
Blower, J. (1975). Report on Visit
to Pulau Bawean. Nature Conservation and Wildlife Management Project.
Hoogerwerf, A. (1966). Notes on the
Island of Bawean (Java Sea) with Special Reference to the Birds. . Nat.
Hist. Bull. Siam Soc, 313-340.
IUCN. (1977). Threatened Deer. The
IUCN Threatened Deer Programme and a Dossier on the Plannig of Restoration
Programmes for Threatened Mammals with Special Reference to Deer.
Washington State: IUCN.
IUCN. (2015). Home: Axis kuhlii.
Retrieved December 30, 2016, from The IUCN Red List of Threatened Species: www.iucnredlist.org
Jamaluddin. (2013, August 18). Home:
Menggagas Gerakan Peduli Terhadap Pesona Wisata Alam Bawean. Retrieved
December 30, 2016, from Media Bawean: www.bawean.net
Jayanti, D. (2009, September 29). Bawean:
Tentang Rusa Bawean. Retrieved December 30, 2016, from rusabawean.com:
www.rusabawean.com
kabargresik.com. (2016, August 5). Pemerintahan:
Rusa Bawean Jadi Icon Asian Games. Retrieved December 30, 2016, from Kabar
Gresik: www.kabargresik.com
Leake, R. S. (2009). Pulau Putri:
Kebudayaan Migrasi dan Dampaknya di Pulau Bawean. Malang: Australian
Consortium for In-Country Indonesian Studies.
Likens, G. E. (2013). Integrating
Approaches Leads to More Effective Conservation of Biodiversity. Biodiversity
Conservation.
Mansur, M. (2004). Analisis Vegetasi
Pada Habitat Rusa Bawean (Axis kuhlii Mull. Et. Schleg) di Pulau Bawean. Jurnal
Teknologi Lingkungan, V, 148-158.
Semiadi, G., Subekti, K., Sutama, I.
k., Masy, ud, B., & Affandy, L. (2003). Antler's Growth of The Endangered
and Endemic Bawean Deer (Axis kuhlii Muller & Schlegel, 1842). Treubia,
89-95.
Sitwell, N. (1970). Bawean Island
Expedition. Animals, 389-393.
WWF. (2005, December 16). WWF:
Pelaksanaan CITES di Indonesia. Retrieved December 30, 2016, from WWF:
www.wwf.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar