Sabtu, 04 Maret 2017

Keterancaman Populasi Rusa Bawean (Axis kuhlii) di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik


1.  Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk tingkat endemismenya (WWF, 2005). Salah satu spesies endemik Indonesia ialah Rusa Bawean (Axis kuhlii). Menurut IUCN (1977) spesies rusa Bawean hanya di temukan di Pulau Bawean, Indonesia.
Rusa tersebut merupakan salah satu hewan endemik Indonesia yang dilindungi baik pada tingkat nasional maupun internasional (Mansur, 2004). Hal ini membuat rusa Bawean menjadi hewan yang cukup menarik perhatian warga dunia, baik untuk keperluan penelitian maupun hiburan. Rusa Bawean bahkan direncanakan akan menjadi ikon yang melambangkan kecepatan dalam penyelenggaraan Asian Games 2018 mendatang (kabargresik.com, 2016).
Pulau Bawean merupakan pulau yang kecil dan terpencil, terletak di kawasan Laut Jawa sekitar 150 km di sebelah utara Surabaya dengan tipe hutan berupa hutan hujan tropik dataran rendah (Mansur, 2004). Pulau Bawean merupakan daerah yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Gresik. Luas total Pulau Bawean ialah sekitar 190 km2 dengan daerah yang bergunung (400-646 m dpl) berada di sekitar barat dan tengah pulau (Jayanti, 2009). Terisolirnya rusa Bawean di Pulau Bawean ini seharusnya dapat meminimalisir ancaman luar yang menganggu stabilitas populasi rusa Bawean. Namun, fakta menunjukkan bahwa populasi rusa Bawean terus mengalami penurunan terutama sejak pesatnya peningkatan populasi manusia di Pulau Bawean. Akibatnya, IUCN memasukkan rusa Bawean yang mulanya termasuk kategori terancam (Semiadi., et al, 2003) menjadi  kritis (CR: Critically Endangered) (IUCN, 2015) karena jumlah populasinya yang semakin menurun hingga 250-300 individu pada tahun 2004 hingga 2006. Rusa Bawean juga termasuk dalam Appendix I berdasarkan daftar CITES tahun 2000. Penurunan jumlah populasi rusa Bawean ini terjadi karena beberapa faktor terutama karena adanya perubahan habitat. Disisi lain, informasi mengenai cara hidup, fisiologi, dan persebaran rusa Bawean masih terbatas, sehingga upaya konservasinya masih belum dapat dilakukan dengan maksimal. Oleh karena itu, diperlukan analisis permasalahan yang mengakibatkan adanya keterancaman populasi rusa Bawean di Pulau Bawean untuk dapat merumuskan upaya konservasi yang efektif dan efisien.

2.  Deskripsi Kasus
Rusa Bawean merupakan satu-satunya rusa yang terisolir diantara seluruh spesies rusa di dunia (Blouch & Atmosoedirdjo, 1987). Hal ini memungkinkan upaya pelestarian rusa Bawean dapat dilakukan dengan lebih mudah karena minimnya ancaman dari luar. Namun, fakta menunjukkan bahwa jumlah populasi rusa Bawean mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Hoogerwerf (1966) melaporkan bahwa populasi rusa Bawean pada tahun 1954 masih ditemukan dalam jumlah cukup banyak. Hal tersebut didukung dengan banyaknya tumbuhan semak dan herba yang diduga menjadi habitat dan sumber makanan bagi rusa. Sitwell (1970) memperkirakan jumlah populasi rusa Bawean hanya sekitar 500 individu pada tahun 1969. Namun pada tahun 1975, Blower melaporkan estimasi berdasarkan hasil observasinya bahwa jumlah rusa yang masih hidup kurang dari 500 individu karena adanya perburuan besar-besaran. Hasil sensus populasi rusa Bawean pada tahun 1996/1997 mengindikasikan bahwa populasi yang tersisa di habitat liar hanya sekitar 400 individu, sedangkan populasi yang terdapat di penangkaran berjumlah mencapai 200-250 individu yang tersebar di berbagai kebun binatang, taman safari, maupun penangkar pribadi (Semiadi., et al, 2003). Laporan dari tim IUCN pada tahun 2008 juga menunjukkan adanya penurunan populasi pada tahun 2004-2006 yang mencapai 250-300 individu di Pulau Bawean.
Penurunan jumlah populasi rusa Bawean terutama disebabkan terutama karena adanya perubahan habitat rusa di Pulau Bawean  yang berupa berkurangnya habitat yang mendukung kehidupan rusa Bawean karena beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah adanya perubahan aktivitas warga dari melaut menjadi berburu dan berladang (Jayanti, 2009), pembakaran semak untuk kepentingan budidaya pohon jati (IUCN, 1977), dan rencana pembangunan Pulau Bawean sebagai salah satu destinasi wisata yang menarik. Ancaman-ancaman tersebut didukung dengan minimnya upaya pelestarian yang strategis dari pemerintah dan masyarakat di sekitar Pulau Bawean.

3.  Analisis Permasalahan
Penelitian yang dilakukan oleh Semiadi (2003) menghasilkan kesimpulan bahwa pertumbuhan dan aktivitas reproduksi rusa Bawean dimulai dari usia 6 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas fisiologi rusa Bawean tidak berbeda dengan rusa tropis dan temperate lainnya. Rusa Bawean yang berukuran lebih pendek dibandingkan dengan jenis rusa lainnya memiliki habitat berupa hutan dengan tanaman rendah seperti semak dan herba.
Perubahan habitat rusa Bawean di Pulau Bawean menjadi penyebab utama berkurangnya populasi rusa Bawean. Menurut Jayanti (2009), adanya pergeseran aktivitas penduduk lokal Pulau Bawean dari pekerja ladang dan pemburu sambilan menjadi pemburu dan pekerja ladang penuh mengakibatkan penurunan populasi rusa Bawean. Masyarakat Pulau Bawean yang awalnya mencari makanan dengan berlayar dan memancing di laut beralih aktivitas dengan cara menjadi pemburu hewan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Rusa Bawean dan babi merupakan dua hewan mamalia liar yang banyak terdapat di Pulau Bawean. Namun, rusa Bawean merupakan hewan yang paling banyak diburu karena masyarakat Pulau Bawean yang sebagian besar ialah penduduk muslim. Perburuan terhadap babi hanya dilakukan apabila ada gangguan dari populasi babi terhadap lahan pertanian warga. Selain itu, masyarakt juga menjadi pekerja ladang yang secara tidak langsung menganggu kenyamanan hidup rusa Bawean di habitatnya.  Adanya deforestasi di habitat rusa Bawean dan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan budidaya pohon jati yang mulai terjadi pada tahun 1934 juga mengakibatkan berkurangnya luas area habitat rusa Bawean (Jayanti, 2009).
Selain berkurangnya luas area yang menjadi habitat rusa Bawean, adanya peralihan aktivitas masyarakat juga mengakibatkan berkurangnya sumber makanan di habitat rusa Bawean. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mansur (2004), dapat diketahui bahwa jenis tumbuhan yang termasuk pakan rusa Bawean sangat rendah yaitu sebesar < 5% dari seluruh populasi tumbuhan yang ditemukan di tiga lokasi hutan yang menjadi habitat rusa Bawean. Disisi lain, salah satu mekanisme perawatan hutan jati yang dilakukan oleh warga di Pulau Bawean ialah pembakaran bagian bawah hutan jati (IUCN, 1977). Hal ini mengakibatkan hilangnya tanaman semak dan herba yang dapat tumbuh di bagian bawah hutan jati.
Ancaman-ancaman tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya peningkatan populasi manusia di Pulau Bawean yang cukup padat dan terjadi dengan pesat. Populasi manusia di Pulau Bawean pada tahun 1954 yang berjumlah sekitar 45.000 individu meningkat menjadi 62.000 pada tahun 1975 (IUCN, 1977). Saat ini, populasi manusia di Pulau Bawean telah meningkat menjadi 70.000 (Leake, 2009). Peningkatan populasi manusia ini secara tidak langsung mengakibatkan aktivitas perburuan satwa liar, pertanian, pembudidayaan pohon jati, dan alih fungsi lahan hutan lainnya menjadi lebih meningkat.
Perencanaan pengembangan ekowisata di Pulau Bawean yang masuk dalam jalur wisata 3B yaitu Batam-Bali-Bawean (Jamaluddin, 2013) juga dapat menimbulkan ancaman tersendiri bagi rusa Bawean. Adanya program ekowisata dapat mengakibatkan adanya alih fungsi lahan hutan menjadi tempat-tempat yang mendukung pariwisata seperti perhotelan, pertokoan kecil hingga besar, dan landasan udara. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan ekowisata di Pulau Bawean harus dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan habitat bagi rusa Bawean dan meminimalisir ancaman-ancaman bagi rusa Bawean.
Saat ini, satu-satunya tempat penangkaran rusa Bawean yang menjadi upaya pelestarian rusa Bawean hanya berada di Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean (Media Bawean, 2010).  Upaya penangkaran memang sudah dilakukan, tetapi lahan penangkaran yang mencapai 4 ha tersebut juga merupakan area ekowisata dan lahan budidaya salak, sehingga upaya penangkaran rusa Bawean tersebut dapat dikatakan masih belum efektif untuk mengurangi keterancaman rusa Bawean dalam menuju kepunahan. Selain itu, rusa Bawean memang dapat bereproduksi dalam kondisi penangkaran, sehingga memudahkan upaya peningkatan populasinya. Namun, penelitian terkait mekanisme fisiologis terutama reproduksi yang lebih rinci masih diperlukan dalam upaya konservasi rusa Bawean.

4.  Saran untuk Pemecahan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, dapat diajukan beberapa saran berikut ini:
a.   Diperlukan adanya pembatasan hingga larangan perburuan rusa Bawean di Pulau Bawean dengan peraturan yang tegas untuk megurangi adanya aktivitas perburuan rusa Bawean. Dalam hal ini peran aktif dari masyarakat sebagai pelaku adat juga sangat diperlukan.
b.  Aktivitas pertanian dan perkebunan jati hendaknya lebih dimaksimalkan pada area yang sudah ada, sehingga tidak perlu membuka lahan baru. Optimalisasi perkebunan jati juga disertai dengan larangan pembakaran semak dan herba yang menjadi habitat rusa Bawean. Oleh karena itu, diperlukan adanya penyuluhan kepada masyarakat di Pulau Bawean mengenai mekanisme bercocok tanam yang efektif dan efisien, serta penyuluhan mengenai dampak pembakaran semak bagi ekosistem hutan secara umum, bagi spesies, dan bagi lingkungan. Optimalisasi aktivitas pertanian dan perkebunan jati ini dapat meminimalisir alih fungsi lahan habitat dan hilangnya makanan rusa Bawean.
c.   Perencanaan pengembangan ekowisata di Pulau Bawean harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin dapat mengakibatkan kerusakan habitat di Pulau Bawean, bukan hanya habitat rusa Bawean. Oleh karena itu, perencanaan harus dilakukan dengan melibatkan berbagai ahli, sehingga dapat diajukan gagasan dari berbagai sisi kehidupan.
d.  Upaya konservasi rusa Bawean dapat dilakukan dengan melakukan konservasi yang mengintegrasikan pendekatan ekosistem dan pendektan spesies. Pemulihan ekosistem hutan di Pulau Bawean harus dilakukan secara utuh, sehingga ekosistem di Pulau Bawean juga terhindar dari berbagai ancaman. Namun, komponen-komponen ekosistem yang mendukung kehidupan rusa Bawean juga harus menjadi salah satu fokus utama, misalnya perawatan tanaman herba dan semak. Integrasi pendekatan ini akan memberikan hasil yang lebih efektif bagi biodiversitas (Likens, 2012) di Pulau Bawean.

5.  Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis permasalahan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa saat ini populasi rusa Bawean yang merupakan hewan endemik di Pulau Bawean berada dalam kondisi sangat terancam punah. Hal tersebut terjadi terutama karena perubahan habitat, perburuan liar, rencana pembangunan wisata di Pulau Bawean, serta minimnya informasi yang mendukung efektifitas konservasi rusa Bawean. Ancaman-ancaman tersebut secara tidak langsung disebabkan adanya peningkatan populasi manusia di Pulau Bawean yang terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, diperlukan upaya konservasi rusa Bawean yang efektif dengan melibatkan berbagai pihak.


Daftar Pustaka 
Media Bawean. (2010, Mei 14). Portal Berita Antara JATIM. Retrieved December 30, 2016, from Media Bawean: www.bawean.net
Blouch, R., & Atmosoedirdjo, S. (1987). Biology of the Bawean Deer and Prospects for its Management. Biology and Management of the Cervidae , 320-327.
Blower, J. (1975). Report on Visit to Pulau Bawean. Nature Conservation and Wildlife Management Project.
Hoogerwerf, A. (1966). Notes on the Island of Bawean (Java Sea) with Special Reference to the Birds. . Nat. Hist. Bull. Siam Soc, 313-340.
IUCN. (1977). Threatened Deer. The IUCN Threatened Deer Programme and a Dossier on the Plannig of Restoration Programmes for Threatened Mammals with Special Reference to Deer. Washington State: IUCN.
IUCN. (2015). Home: Axis kuhlii. Retrieved December 30, 2016, from The IUCN Red List of Threatened Species: www.iucnredlist.org
Jamaluddin. (2013, August 18). Home: Menggagas Gerakan Peduli Terhadap Pesona Wisata Alam Bawean. Retrieved December 30, 2016, from Media Bawean: www.bawean.net
Jayanti, D. (2009, September 29). Bawean: Tentang Rusa Bawean. Retrieved December 30, 2016, from rusabawean.com: www.rusabawean.com
kabargresik.com. (2016, August 5). Pemerintahan: Rusa Bawean Jadi Icon Asian Games. Retrieved December 30, 2016, from Kabar Gresik: www.kabargresik.com
Leake, R. S. (2009). Pulau Putri: Kebudayaan Migrasi dan Dampaknya di Pulau Bawean. Malang: Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies.
Likens, G. E. (2013). Integrating Approaches Leads to More Effective Conservation of Biodiversity. Biodiversity Conservation.
Mansur, M. (2004). Analisis Vegetasi Pada Habitat Rusa Bawean (Axis kuhlii Mull. Et. Schleg) di Pulau Bawean. Jurnal Teknologi Lingkungan, V, 148-158.
Semiadi, G., Subekti, K., Sutama, I. k., Masy, ud, B., & Affandy, L. (2003). Antler's Growth of The Endangered and Endemic Bawean Deer (Axis kuhlii Muller & Schlegel, 1842). Treubia, 89-95.
Sitwell, N. (1970). Bawean Island Expedition. Animals, 389-393.
WWF. (2005, December 16). WWF: Pelaksanaan CITES di Indonesia. Retrieved December 30, 2016, from WWF: www.wwf.or.id


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar